BENDUNG Kosinggolan Desa Doloduo Kec. Dumoga Barat-Bolmng. (Foto: Angri Mokoagow) |
DESA sejatinya
garda depan pembangunan negeri ini,
namun secara sistemik desa hilang supremasi (kedaulatan),
akibat tergerus dan salah urus yang tak jauh dari urusan kekuasaan.
Ibarat air jika di hulu bersih pun di hilir juga muara,
tuah ini layak disematkan pada dua hal yakni pemimpin dan desa,
pemimpin sarat keteladanan dan desa sarat kearifan.
Oleh: Hendra Dj Mokoagow
namun secara sistemik desa hilang supremasi (kedaulatan),
akibat tergerus dan salah urus yang tak jauh dari urusan kekuasaan.
Ibarat air jika di hulu bersih pun di hilir juga muara,
tuah ini layak disematkan pada dua hal yakni pemimpin dan desa,
pemimpin sarat keteladanan dan desa sarat kearifan.
Oleh: Hendra Dj Mokoagow
Memang
ada kekhawatiran jika
mata air dikuasai kapitalis maka rakyat tinggal mewarisi air mata, namun
anekdot ini tak serta merta benar, jika diurus dengan ideal
mengedepankan asas keadilan yang bertumpuh pada kearifan lokal. Terlebih
desa
sebagai mata air pembangunan telah dirangkum dalam sebuah aturan
perundang-undangan, sebagaimana termaktub dalam Undang Undang nomor 6
tahun
2014 tentang desa, telah memagarinya dari pesimistis publik dan jejaring
kapitalis.
Pada Bab I Ketentuan Umum UU
No 6 Tahun 2014 yang diketuk medio Desember 2013 ini, disebutkan bahwa desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bab ini juga mengatur penyelenggar, pemimpin, permusyawaratan, Badan Usaha, aturan, pembangunan, wilayah, keuangan, asset, pemberdayaan, hubungan dengan UUD 1945 dan pemerintah pusat serta hubungannya dengan pemerintah daerah (eksekutif dan Legislatif) menurut asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan garis structural mulai dari Menteri Dalam Negeri,. Gubernur, Bupati atau Walikota.
Kesadaran akan kedaulatan
desa itu benar-benar dituangkan pembuat kebijakan negeri ini, demi sebuah
cita-cita supremasi desa yang telah lama didengungkan publik, buah karya
eksekutif dan legislatif di penghujung pemerintahan Presiden DR Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Pertanyaannya kemudian, apakah teks UU Desa ini bisa
dijalankan dengan baik dan benar? Diatas kertas memang sudah mengakomodir
kebutuhan dan harapan desa yang diidamkan.
Implementasi undang undang desa ini memang menjadi Pekerjaan Rumah (PR) negeri ini, selain bergantung pada orang selaku pelaksana, baik pemerintah, pelaku dunia usaha, investasi, industrialisasi di berbagai sektor, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan serta seluruh punggawa pembangunan. Tak bisa dinafikan, PR ini juga terkait erat dengan sistem yang akan dibangun pemerintah, mulai pusat dan daerah bahkan kecamatan.
Kendati posisi Kecamatan belum dirinci implisit dalam Perundangan Desa ini, namun tak bisa dinyana dalam implementasi kecamtan selaku perpanjangan tangan kabupaten atau kota cukup strategis perannya, apakah perpanjangan tangan secara adminitsrasi, kinerja baik itu pendampingan ataukah sekedar institusi dalam fase peralihan menuju otonomisasi seluas-luasnya sebagaimana tertuang dalam undang undang desa. Supremasi Desa akan seksi jika kita simak dalam beberapa hal;
1. E-Gov dan SDM Ramping
Elektronik Government
(E-Gov) yang didengungkan Presiden Terpilih Ir Joko Widod (Jokowi) dan Wakil
Presiden (Wapres) Drs M Jusuf Kala (JK), menjadi titik api reformasi birokrasi
yang telah lama didengungkan di Republik ini. E-Gov yang digagas Presiden
Megawati Soekarno Putri melalui Kepres 9 Juni 2003 silam, secara berserakan
telah diundangkan dalam bentuk layanan elektronik berbasis Sistem Informasi dan
Teknologi Informasi (SI/TI).
Sekelumit Layanan Elektronik yang bercerai berai ini kemudian menjadi persoalan pemerintah pusat hingga daerah, hingga tahapan implementasinya masih jauh dari harapan entah sengaja atau tidak namun terpatri setengah hati menjadikannya sebagai sebuah sistem manajemen pemerintahan. Jika ditelisik, katakhadiran Negara sebagai perekat dan pemersatu layanan elektronik ini berbuah euforia pemanfaatan TI/SI saling tumpang tindih dalam pelaksanaan dan pengawasannya di pusat juga daerah.
Layanan elektronik harusnya terintegrasi dalam E-Gov, hingga terbangun sistem baik di pusat mulai lintas kementrian, departemen dan lembaga Negara termasuk daerah, saling bersinggungan dalam sebuah Jaring TI/SI. Imbasnya, produktifitas kerja baik waktu (efektifitas) dan efisiensi terkait perampingan perangkat dan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi hal lain yang perlu dibedah, sehingga diskursusnya member solusi tentang arah dan penempatannya.
Alhasil, penerapan E-Gov berdampak pada perampingan kinerja yang tersedot oleh penggunaan perangkat bernama Komputer (Computerise) baik perangkat keras dan lunak, bahkan jangkauan dan rentang kendali pelayanan ini terpangkas dalam sebuah jejaring TI/SI. Lalu efek apa yang akan diperoleh Desa dalam penerapan E-Gov ini? Karena ini sebuah system maka perangkat TI/SI tentunya samapi juga di Desa, selain itu SDM Abdi Negara juga perlu dipikirkan.
2. Distribusi ASN di Desa
Tak bisa dinyana,
pendistribusian SDM plat merah ini menjadi ‘bola muntah’ dalam konteks
penyelenggaraan desa, Aparatur Sipil yang dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negera (ASN) berbasis kinerja, dituntut turun ke desa, baik
sebagai analisis, administrator, pelaksana dan pendampingan. ASN menjadi
punggawa keberhasilan pelaksanaan penganggaran, pembangunan, baik
infrastruktur, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Urusan penyelenggaraan ini kemudian menjadi wajib dalam memastikan penganggaran dan penggunaan dana mulai pusat hingga desa agar tak menguap, tepat sasaran sebagaimana peruntukkan dalam perencanaan pembangunan yang tertuang dalam APBN, APBD dan APBDes. Desa menjadi primadona pembangunan, dimana aparat yang ditugaskan beramai-ramai menginjakan kaki di desa sebagai Lokus dan Sentra pembangunan.
Intinya, kehadiran aparatur plat merah di Desa, akan membantu dinamika supremasi desa, sebagaimana harapan yang tertuang dalam UU nomor 6 tahun 2014, baik dalam urusan merekonstruksi penyelenggaraan baik kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Badan Usaha Desa (Bumdes), peraturan dan perundangan, asset, pemberdayaan, hubungan dengan UUD 1945 dan pemerintah pusat serta hubungannya dengan pemerintah daerah (eksekutif dan Legislatif).
Semua itu terangkum pada pelaksanaan asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan garis struktural mulai dari Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati atau Walikota. Tak hanya itu, Aparat Sipil Negara yang ditugaskan di desa pada akhirnya akan ersinergi dengan sektor pembangunan dan pemberdayaan di desa, kinerja aparatur ini mudah diukur karena jerihnya terang benderang.
Rakyat sebagai kelompok masyarakat yang diberdayakan juga akan melekat fungsi kontrolnya, aparatur yang menjadi sumber pemberdaya masyarakat akan kelihatan advice pendampingannya, dan mau tak mau pegawai yang ditugaskan tak akan pelit pengetahuan bahkan akan mengeluarkan seluruh kemampuannya demi kesejahteraan masyarakat. Ukuran keberhasilan pegawai berbanding lurus dengan kesejahteraan msyarakat yang didampinginya, demikian juga sebaliknya.
Ujung-ujungnya, penilaian untuk penjejangan karir dan kepangkatan seorang aparat ditentukan oleh keberhasilan desa dan rakyat yang di-advice-nya, jika kerja sama ini terjalin dengan baik maka ada kesetaraan antara aparatur dan rakyat dalam simbiosis mutualisis, saling membutuhkan dan menunjang dalam positif making. Kedulatan rakyat, desa dan aparatur akan saling bahu membahu demi pembangunan Indonesia yang lebih baik.
3. Keuangan dan Pemberdayaan Desa
Salah satu poin yang paling
krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait alokasi anggaran untuk desa,
di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa, dimana jumlah
alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan
di luar dana transfer daerah. Kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi,
diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp. 1.4 Miliar.
SAWAH di Desa Doloduo Kec. Dumoga Barat Kab. Bolmong, menjadi andalan Lumbung Beras Prov. Sulawesi Utara. (Foto: Anggri Mokoagow) |
Sumber pendanaan BUM Desa juga dibantu oleh pemerintah di pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa. Pemerintah mendorong BUM Desa dengan memberikan hibah dan atau akses permodalan, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar, dan memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di desa. Keseriusan Pemerintah untuk penerapan UU Desa ini telah disusul dengan lahirnya PP 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
BUMDes ini, bisa bergerak di bidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan umum lainnya sesuai ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa BUMDes ini secara spesifik tidak bisa disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV atau koperasi karena tujuan dibentuknya adalah untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Dengan kata lain, orientasi BUMDesa tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan. Melainkan juga mendukung peningkatan kesejahteraan dengan pemberdayaan masyarakat desa, kearifan lokal serta keberlangsungan hajat desa dan rakyatnya. Peningkatan kesejahteraan desa bisa melalui pemberdayaan sektor pertanian, kelautan, perkebunan, perdaganagan bahkan multi efeknya bisa melahirkan lumbung pengumpul hasil produksi yang fokus mengurus sektor tersebut.
Lumbung atau gudang hasil panen petani, tangkapan nelayan bisa menghadirkan Bank Tani, Bank Nelayan, Pasar Tradisonal dan Modern bahkan bsas membantu desa bila ingin mengembangkan Industri Kecil Menengah (IKM), yang saling terkait dalam sebua mata rantai ekonomi. Sementara Kearifan Lokal bisa didorong untuk mengeksplorasi kemampuan desa, baik dalam segi budaya, adat, ketrampilan desa baik tekstil, seni, industri kreatif dan sebagainya.
Sementara untuk keberlangsungan hajat rakyat di desa seperti ketersediaan listrik, air bersih, pariwisata, transportasi, energi terbarukan, dan modernisasi pertanian, perkebunan dan kelautan bisa diaktalisasikan dengan membangun Pembangkit Listrik skala kecil bertenaga Mikro Hidro (PLTMH), dan mengatur airnya agar bisa dikonsumsi secara sehat oleh masyarakat di desa. Belum lagi energy yang bersumber dari matahari, angin, panas bumi dan batu bara.
Efek domino BUMDes selanjutnya adalah sektor perkebunan akan kaya farietas, baik tanaman yang telah ada maupun pengembangan untuk sumber energi terbaruhkan, seperti mengembangkan Biodiesel yang bersumber dari tanaman jarak (Jatropha) terus, Biotetanol yang merupakan salah satu jenis biofuel (bahan bakar cair dari pengolahan tumbuhan) di samping biodiesel, dimana bahan baku dari singkong, jagung, kelapa sawit. Sejatinya jika didorong, sektor perkebunan menyumbang 64 juta ton limbah untuk energi terbarukan.
Tak cukup disitu, implikasinya pada pemenuhan tenaga kerja pendistribusian konsentrasi kerja, berimbas pada kekayaan sektor garapan sehingga pilihan ini pada hakikatnya demi kemajuan desa khususnya dan Indonesia umumnya. Modernisasi pertanian tentunya melekat pada peralatan guna meningkatkan produksi, demikian juga untuk sektor kelautan alat tangkap yang canggih, ditindaklanjuti dengan penangkaran hasil tangkapan untuk meningkatkan ikan baik dari segi kwalitas juga kwantitas.
Sektor pamungkas yang tentu tak bisa dinafikan adalah pariwisata, seluruh sektor di atas akan memiliki nilai tambah dalam wisata, baik perkebunan, air bersih, energi terbarukan, kelautan, transporatis memiliki magnet atau daya tarik tersendiri bagi pelancong baik lokal maupun manca negara. Pertanyaan kemudian adalah, apakah dengan UU nomor 6 tahun 2014 dan PP Nomor 43 Tahun 2014 akan menjamin arah pembangunan nasional yang kiblatnya ke desa? Tentu jawabannya masih menunggu political will dari pemerintahan yang baru terpilih.
4. Jokowi-JK Efek
Pemerintahan Jokowi-JK (Joko
Widodo dan Mohamad Jusuf Kalla) tinggal menghitung hari, pelantikan Presiden
dan Wakil Presiden pilihan rakyat ini sedianya digelar 20 Oktober, namun banyak
harapan disematkan di pundak Jokowi-JK. Gaya kepemimpinan Jokowi-JK yang unik,
serta berpihak pada publik tak serta merta menjadi jaminan Supremasi Desa yang
secara konstitusi telah berdaulat, akan terimplementasi sesuai harapan.
Positifnya Jokowi-JK telah merumuskan pembangunan desa pada point ketiga sebagai salah satu Sembilan program yang disebut “Nawa cita” yaitu: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Peletakan dasar-dasar bagi dimulainya desentralisasi asimetris, dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di kawasan-kawasan perbatasan, memperkuat daya saing ekonomi Indonesia secara global, dan membantu daerah berkapasitas serta berpemerintahan belum cukup memadai dalam memberikan pelayanan publik.
Selain itu poin ke-6; Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2 ribu kilometer dan memperbaiki jalan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua; membangun 10 pelabuhan baru dan merenovasi yang lama; membangun 10 bandara baru; dan merenovasi yang lama; membangun 10 kawasan industri baru berikut pengembangan untuk hunian buruh. Kami akan membangun pasar tradisional sebanyak 5000 pasar tradisional diseluruh Indonesia dan memoderenisasi pasar tradisional yang sudah ada.
Juga poin ke-7; Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi rusak dan jaringan irigasi di 3 juta hektar sawah; 1 juta hektar lahan sawah baru di luar Jawa; pendirian Bank Petani dan UMKM; gudang dengan fasilitas pengelolahan pasca panen di tiap sentra produksi. Pemulihan kwalitas kesuburan lahan, air irigasinya tercemar oleh limbah industry dan rumah tangga, penghentian konversi lahan produktif untuk usaha lain, seperti industri, perumahan dan pertambangan. Mewujudkan kedaulatan energi melalui kebijakan pengurangan Impor Energi Minyak dengan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasimigas di dalam dan di luar negeri; peningkatan efisiensi usaha BUMN penyedia energi di Indonesia.
Bahkan Bisnis.com 4 September lalu melansir; Komisi Anggaran Independen (KAI) dan Yayasan Tifa mengusulkan agar pemerintahan Jokowi-JK mempertimbangkan setidaknya empat pokok program prioritas dalam 100 hari pemerintahan. Point Ketiga menyebutkan, mengalihkan subsidi pupuk untuk kesejahteraan 23 juta petani miskin tanah melalui penerbitan Kartu Pertanian Indonesia untuk melindungi mereka dari kerentanan gagal panen sekaligus membendung warisan ‘impor’ pemerintahan sebelumnya.
Dengan UU Desa, pemberdayaan pemerintahan desa mendapat suplemen baru dalam membangun pemerataan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi perdesaan. Namun, lemahnya kinerja aparatur pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangan bisa menjadi ancaman serius, seperti tindak pidana korupsi, memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan karena pembagian ‘kue’ yang tak merata, Kepala desa dan aparat jadi sasaran demo jika transparansi penggunaan anggaran tak libatkan publik.
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif Prawiradiningrat, mengingatkan agar kepala desa ektra hati-hati mengelola dana perimbangan. Kucuran dana perimbangan itu rawan dikorupsi perangkat desa. Kornel mencontohkan salah urus daerah selama era otonomi daerah telah menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan hukum. BPK berharap lurah dan kepala desa bisa membuat sistem pembukuan yang baik, akuntabel dan transparan untuk meminimalkan penyimpangan.(***)