Walikota : Robert Wolter Mongisidi adalah putra terbaik Bantik
KABAR,Manado-Festival
Seni Budaya Bantik yang dirangkaikan dengan 65 tahun gugurnya Pahlawan Nasional
Robert Wolter Mongisidi digelar di lapangan Bantik Malalayang, Manado, Sulawesi
Utara (Sulut), Jumat (5/9). “Bote”
panggilan karab Robert Wolter Mongisidi, lahir di Malalayang Manado
pada, 14 Februari tahun 1925. Ia
divonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen
Belanda, karena melakukan perlawanan terhadap Belanda untuk berjuang bagi Ibu
Pertiwi.
DR
G.S Vicky Lumentut selaku Walikota Manado, membuka langsung festival ini dan
mengikuti rangkaian kegiatan hingga Jumat sore.
Walikota
mengatakan bahwa, tidak terasa sudah 65 tahun telah berlalu kepergian Bote
panggilan akrab Pahlawan Nasional yang berasal dari
suku Bantik itu. Dimana, duka telah diganti dengan suatu kebanggaan. Bangsa
Indonesia kehilangan salah satu putra terbaik, namun guna mewarisi semangat
Bote yakni Setia Hingga Terakhir Dalam Keyakinan. Maka kita yang ada saat ini,
merupakan penerus semangat Bote baik itu datang dari bidang hidup profesi, dan
kapabilitas yang dimiliki di manapun kita berada.
Festival Bantik adalah salah satu upaya
kita untuk memelihara jati diri dan kearifan local, tidak boleh dilupakan bahwa
Robert Wolter Mongisidi adalah putra terbaik Bantik, yang menjadi putra Bangsa
Indonesia.
"Saya minta, pertahankan terus
semangat dan jati diri Bantik ini. Semoa bisa juga menjadi Garda terdepan dalam
menjaga keamanan dan kedamaian di Kota Manado kedepan," ujar GSVL disambut
aplaus ribuan warga Bantik yang hadir.
Wolter 24 Tahun,
Pahlawan
yang Mati Muda
Wolter:
“Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan
jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.” Masa Kecil Wolter Monginsidi.
Mungkin tidak banyak yang mengenal Robert Wolter
Monginsidi atau biasa mendapat sebutan dan panggilan kesayangan ‘Bote’. Ia
terlahir di pesisir desa Malalayang, Manado Sulawesi Utara pada tanggal 14
Februari tahun 1925. Tepat di hari yang oleh sebagian besar masyarakat di
belahan bumi ini menyebutnya sebagai hari kasih sayang atau Valentine’s day. Wolter
Monginsidi lahir dari hasil buah cinta Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.
Pada masa kecil menjelang masa remajanya, ada begitu
banyak pergumulan, halangan serta rintangan yang tak ringan bagi si Wolter
kecil. Ia tumbuh dan berkembang pada masa-masa yang sangat sulit, bahkan untuk
mendapatkan pendidikan yang layak masih jauh panggang dari api. Tapi luar
biasanya, tekad nan bulat dari Wolter kecil tiada pernah urung apalagi pupus.
Semangat juangnya untuk menuntut ilmu terus membara serta membakar dan memompa
semangatnya untuk maju.
Kegigihannya membuahkan hasil. Pada tahun 1931 ia
merebut peluang untuk memasuki dunia pendidikan HIS, yang kemudian diteruskan
dengan bersekeloh di MULO Frater Don Bosco Manado. Selepas dari Don Bosco
Manado, ia dengan penuh kepastian melangkahkan kakinya menuju ke Sekolah
Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon Minahasa, serta
Sekolah Guru Bahasa Jepang. Hasilnya? Pada usianya yang masih belia, sekitar 18
tahun pada masanya tersebut, ia sudah menjadi guru Bahasa Jepang di Malalayang
Liwutung dan Luwuk Banggai.
Semangat
Juang Wolter Muda
Penjajahan
di Bumi Pertiwi yang tiada berkesudahan dan semakin menjadi-jadi ternyata
mengetuk-ngetuk ruang batin Wolter. Ia betul-betul terpanggil untuk berjuang
bagi Ibu Pertiwi. Dengan semangat yang terbangkitkan dan jiwa yang terpanggil
Wolter berusaha untuk dapat sekolah lagi. Baginya belajar adalah seumur hidup.
Menurutnya ilmu itu penting. Olehkarenanya teruslah ia belajar dan belajar
terus. Sampai suatu ketika ia berhasil mencapai Makassar dan masuk SNIP
Nasional di tahun 1945.
Lantas
apakah Wolter merasa puas berhasil menjajakkan kaki untuk bersekolah di
Makassar? Apa daya, panggilan jiwa untuk berjuang demi bangsa terasa begitu
kuat. Ia rupa-rupanya menjadi tak tahan lagi menyaksikan dan melihat dengan
mata kepala sendiri kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotisme Wolter begitu menggebu-gebu,
seakan mengajaknya untuk menyingsingkan lengan dan turun tangan langsung
menghadapi para penjajah.
Pada
waktu itu, sekitar bulan July 1946 diawali dengan adanya sebuah konferensi
terbentuklah sebuah organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS dan Wolter
terpilih sebagai sekjennya. Karena Wolter dapat menunjukkan dirinya sebagai
seorang pemimpin yang berani dan cerdas ternyata membuat ia disegani dan sangat
dipercaya. Bahkan untuk melakukan aksi-aksi berbahaya melawan Belanda Wolter
sering dipercaya untuk bertindak sebagai pemimpin. Sudah banyak perlawanan
terhadap para penjajah yang dipimpin oleh Wolter muda ini.
Namun
perjuangannya yang sangat gigih akhirnya kandas pada tanggal 28 Februari 1947
ketika ia ditangkap oleh bala tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar.
Wolter Monginsidi kemudian dipenjara. Kakinya dirantai, dan dikurung dibalik
terali besi.
Sebagai
seorang muda yang pantang menyerah dan memiliki semangat juang tinggi, ia tak
lantas putus asa dan menyerah begitu saja. Pantang baginya untuk menyerah tanpa
bereaksi atau berbuat apa-apa. Ia tetap gigih berjuang walau dari balik terali
besi. Hasilnya? Nyata terlihat. Pada suatu malam tepat di tanggal 17 Oktober
tahun 1948, bersama dengan Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari,
Wolter berhasil melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur.
Uniknya lagi sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah
menyelundupkan dua buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.
Wolter
mengantongi banyak penghargaan dan gelar, bahkan ketika ia sudah mati
sekalipun. Antara lain ia dianugerahkan pemerintah Indonesia Bintang Gerilya
pada tahun 1958 dan Bintang Maha Putera Kelas III pada tahun 1960, serta
ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973.
Sayang
sekali, Wolter hanya bisa menghirup udara kebebasannya selama sepuluh hari.
Bahkan impian besarnya untuk terus melawan para penjajah secara langsung mesti
kandas untuk kedua kalinya. Pasukan Belanda berhasil menyekap Wolter pada
tanggal 28 Oktober 1948. Pasukan Belanda dengan cerdiknya memberikan tawaran
uang bagi siapa saja yang sanggup menyerahkan Wolter, atau memberitahukan
dimana Wolter bersembunyi. Bukan main busuknya para penghianat tersebut. Hanya
dengan uang mereka rela dan tega menghianati perjuangan yang sudah sementara
dibangun dengan darah, keringat, dan air mata. Hampir di mana saja pasti akan
ada mata-mata Belanda. Makanya jangan heran kalau sampai Wolter pun mengatakan “Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di
sini.”
Saya
jadi terbayang, mungkin ketika Wolter digiring untuk dimasukkan ke dalam
tahanan di Kiskampement Makassar, ia berjalan dengan langkah tegap tapi dengan kepala
yang tertunduk. Sekali-kali ia menoleh kebelakang dengan tatapan sedih, merasa
bahwa perjuangannya belum tuntas. Ia pun harus merelakan perjuangan panjangnya
diteruskan oleh kawan-kawan seperjuangannya yang lain. Lalu dengan kasarnya
tentara Belanda mendorong tubuhnya masuk ke dalam penjara, kemudian tangan dan
kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter lantas divonis hukuman
mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.
Pada
masa penantian hukuman mati yang akan dijatuhkan atasnya, Wolter mengambil
waktu untuk merenungi kembali catatan perjalanan kepejuangannya. Ia mungkin akan segera mati, tapi ia sungguh tak
ingin keinginan hatinya ikut mati bersamanya. Ia tak sudi motivasi perjuangan
ikut mati bersamanya. Robert Wolter Monginsidi menulis banyak
rangkaian kata penuh makna untuk saudara-saudaranya, dan juga untuk kawan-kawan
muda seperjuangannya sebagai ungkapan ‘keinginan bulatnya’ dan kesetiaannya
terhadap ibu pertiwi. Tentu juga terkandung segala harapan-harapan besarnya
untuk terus meneruskan perjuangan suci buat bangsanya tercinta. Indonesia.
Raga
Boleh Mati, Tapi Perjuangan Jalan Terus
Ada
beberapa goresan penanya dalam menyemangati dan memotivasi saudara, kawan,
rekan-rekan anak bangsa yang akan segera ia tinggal pergi. Antara lain seperti
terbaca di sini:
“Jangan takut melihat masa yang
akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum
semua tenagaku kukeluarkan.”
“Jangan berhenti mengumpulkan
pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan
kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan, karena itu akan
mengatasi segala-galanya.”
”Apa yang saya bisa tinggalkan
hanyalah rohku saja yaitu roh untuk ‘setia hingga akhir pada tanah air’ dan
tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan
yang ketat.”
“Memang betul, bahwa ditembak bagi
saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa……”
“Perjuanganku terlalu kurang, tapi
sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai
pemuda-pemudi…semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi
salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.”
Hari
Senin tanggal 05 September 1949 sudah ditetapkan sebagai sebagai hari penghukuman
mati bagi saudara Wolter Monginsidi. Waktu yang ditetapkan adalah pukul 05.00
subuh. Regu penembak sudah berdiri siap dengan senapan di tangan. Salah satu
putera bangsa terbaik bernama Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani
berdiri tegak di hadapan regu penembak. Ia sudah sangat rela membiarkan dirinya
mati ditembak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah rela perjuangan
dan cita-citanya kandas di ujung moncong senapan itu.
Wolter
diberikan kesempatan terakhir untuk menulis surat pada secarik kertas. Ia
lantas menuliskan pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk
kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sungguh tidak pernah pudar.
Ia
menuliskan bahwa ia sudah setia hingga akhir di dalam keyakinan. Ia juga
meminta supaya disampaikan salam ke orang tua dan saudara-saudaranya yang
berada di Malalayang Manado. Ia menuliskan pesan kepada teman-teman
seperjuangannya bahwa ia menjalani hukuman tembak ini dengan tenang, tidak ada
rasa takut dan gentar demi Bangsa Indonesia tercinta.
Catatan
Akhir
Karena
Wolter sudah benar-benar siap, dengan santainya ia menjabat tangan regu tembak
yang akan segera menghabisi nyawanya sembari berkata “Laksanakan tugas saudara. Saudara-saudara hanya
melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga
Tuhan mengampuni dosa saudara-saudara.“
Akhirnya,
ia menatap pasti setiap moncong senjata yang diarahkan tepat ke tubuhnya. Ia
bahkan menolak ketika matanya akan ditutup, lalu berucap lantang “Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat
peluru penjajah menembus dadaku.“ Lalu Wolter berteriak
“Merdeka….merdeka….merdeka…!” dan depalan butir peluru menghantam tubuhnya.
Peluru-peluru itu bersarang di dada, perut dan wajahnya. Meninggallah ia di
usia yang masih begitu muda, 24 tahun. Selamat jalan Wolter! ***
“Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh
kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada
Tuhan.”—Wolter Monginsidi